Sumber |
Menurut Raja Huristak XII dari Kerajaan Padang Lawas, Patuan Daulat Sutan Palaon, Raja Huristak XII, Tondi Hasibuan, BA, MA saat ini di wilayahnya muncul pihak-pihak yang mengaku memiliki lahan yang menjadi kekuasaannya.
"Kerajaan Huristak ini sudah berdiri sejak tahun 1650. Nah, masalahnya di sana sekarang sudah banyak orang ngaku-ngaku bikin apa, bikin apa. Termasuk bikin akte. Padahal zaman itu belum ada akte berupa pengakuan dari pihak Belanda," terang Raja Tondi Hasibuan bersama ayahnya Patuan Barungun kepada para wartawan di kawasan Kemang, Jakarta Selatan beberapa waktu lalu.
Lalu Raja Tondi Hasibuan, memperlihatkan dokumen-dokumen Kerajaan Padang Lawas berupa surat-surat asli kerajaan Padan Lawas. "Ini ada beberapa dokumen yang mencakup tentang perhutanan dan hukum-hukum perhutanan Kerajaan Huristak, Padang Lawas. Jadi ada satu hikayat tentang Raja Sutan Gadu Mulia Tandang, Raja Kedua Huristak pada awal abad 17, " jelasnya.
Jauh sebelum Belanda datang, dalam Hikayat itu dijelaskan kalau dulu hutan-hutan Padang Lawas, Padang Lawar Utara, Rokan Ulu itu dalam penguasaan kerajaan.
Jadi dari jaman dahulu (abad 17) sudah dibikin perjanjian siapapun tidak boleh mengeluarkan hasil hutan, termasuk getah, batang, pohon. Tapi orang yang mendiaminya itu boleh mengambil buahnya tapi tidak boleh di jual keluar tanpa izin Raju Huristak.
Lalu hukum-hukum kehutanan itu terus diterapkan, karena jaman kerajaan dahulu ada hutan yang emang boleh dikelola untuk diambil hasil hutannya maupun ada yang dikelola untuk hutan berburu.
Awal abad 18 ketika Hindia Belanda pertama masuk ke Padang Lawas, itu diterbitkan juga hukum-hukum kehutanan yang sudah ada, dan itu agak bertentangan dengan hukum Belanda, karena menurut dokumen banyak benerapa hukum Belanda itu sebenarnya bertentangan sama hukum-hukum kehutanan kerajaan yang sudah ada.
Terdapat beberapa dokumen semacam dokumen protes bahwa dulu hukum hukum yang Belanda buat itu menurunkan derajat kerajaan, soalnya beberapa hukum kerajaannya di ubah.
Setelah itu pas jaman Hindia Belanda terus dikomunikasikan hukum hukum adab kerajaan yang jaman dahulu dan jaman Belanda, nah jaman Belanda itu mulai agak berubah hukumnya, nah ketika Belanda kalah perang sama Jepang tahun 1942, hukum hukum kehutanan itu kembali ke masa-masa kerajaan lagi, bahkan putera mahkota waktu itu Sutan Managor Hasibuan menjabat sebagai Menteri Tani, jadi hukum hukum kehutanan itu digabungkan juga dengan hukum pertanian dan hukum persawahan di bawah kendali Putera Mahkota Kerajaan.
Setelah jaman Jepang, bergabung dengan NKRI 1947, hutan hutan Padang Lawas ini terus sebenarnya masih dikelola walaupun hukumnya sudah bercampur, hukum kerajaan yang asli, hukum Belanda dan hukum Jepang dan hukum pemerintahan NKRI. Sampai tahun 1978, hutan hutan di Padang Lawas itu masih di bawah kendali Raja Huristan X, Sutan Managor Hasibuan.
Sekitan tahun 1980 an, hukum hukum itu sudah bercampur karena hutan yang dikelola terlalu luas dan ada campur tangan pemerintah Indonesia.
Setelah 1980, 1990, disitulah hukum hukum kehutanan itu bisa dibilang hilang, karena berganti dengan perusahaan perusahaan ini, tapi dikumen hukum hukum kehutanan lama sebelum Belanda datang, pas masa hikayat abad 17 dan surat pengelolaan kayu, dimana jaman Belanda, setiap kayu sudah diorganisir dengan baik, jadi setiap pemotongan kayu, setiap kayu yang keluar dari hutan sudah tercatat dengan rapih di jaman kerajaan, soalnya pas jaman kerajaan itu mereka ya memang pemerintahaan sendiri, jadi mengelola hutan dan kayu sudah ada aturannya sendiri. (sumber)
Napak Tilas Raja Huristak XII di Dua Kerajaan Besar Tanah Jawa
Sebuah perjalanan napak tilas baru saja dilakukan Raja Huristak XII, Patuan Daulat Sutan Palaon, Tondi Hasibuan.
Perjalanan napak tilas yang disebutnya sebagai rangkaian ‘Tour de Java' ini dilakukannya untuk memenuhi sejumlah undangan dari beberapa kraton di tanah Jawa yang juga terkait dengan perayaan Malam 1 Syuro.
“Undangan pertama tanggal 9-10 September 2018 di Keraton Galuh Ciamis. Disana, salah satu acaranya adalah memukul Gong Perdamaian Dunia dan acara Diwara Galuh 2018 di situs bekas kerajaan Galuh, Karangkamulyan. Lalu berlanjut pada 10-11 September 2018 menghadiri undangan di Kraton Solo. Di situ kami bertemu dengan Sinuhun Pakubuwono XIII dan keluarga besar ketika acara Kirab Pusaka Kraton Surakarta Hardiningrat,” ujar Raja Huristak XII Tondi Hasibuan di Jakarta, kepada Tribunnews.com baru-baru ini.
Lanjutnya, bertepatan Malam 1 Syuro pada 10 September, yang juga bertepatan dengan ulang tahunnya yang dirayakan di Hotel Prince Sahid, yang juga bekas rumah Pangeran Solo jaman dulu, Tondi kedatangan utusan dari Pakubuwono XIII yaitu Ketua Umum Yayasan Kole Cokro, pengacara pribadi Sinuhun Pakubuwono XIII beserta keluarga. Ada juga perwakilan dari Trah Pangkubuwono I, perwakilan dari Pura Mangkunegaran, perwakilan dari Kasepuhan Majapahit dan Kasepuhan Ponorogo.
“Semua acaranya kayak nyambung, mulai dari Galuh, Solo dan terakhir ada acara Ruwat Agung Suwantoro 2018 selama empat hari. Dimulai dari Festival Mocopat, acara 1 Syuro dan terakhir Kirab Agung dengan tema ‘Digdaya Mahapatih Gajahmada 2018’,” jelas Tondi Hasibuan.
Di rangkaian acara terakhir di Mojokerto ini, Tondi berkesempatan bertemu dewan adat Majapahit yang dipimpin Hari Utomo. Ia juga berkesempatan bertemu juga dengan Bupati Mojokerto serta Kasepuhan Kedaton Majapahit yang dipimpin Eyang Seto.
Tondi menyebut, ‘Tour de Java’ ini seperti perjalanan napak tilas di masa lalu ke dua kerajaan besar di tanah Jawa yakni Galuh dan Majapahit.
“Saat di Galuh, pihak Kraton Galuh mengajak saya beserta keluarga untuk ke situs Karang Kamulyan yang bekas lokasi kraton Galuh. Di situs ini di masa lalu ada jalan setapak yang bermuara ke sungai dan langsung menuju ke Majapahit. Jadi jaman dulu, bisa dari Galuh ke Solo terus ke Trowulan di Mojokerto lewat sungai,” pungkas Raja Huristak XII Tondi Hasibuan. (sumber)
Posting Komentar