Jejak Hasibuan di Surga Wisata Tanah Aceh Singkil


Hubungan sejarah antara masyarakat Mandailing Angkola, khususnya rumpun marga Hasibuan melalui Hutabarat, dengan Aceh ternyata menyimpan kisah yang panjang. Tidak hanya berkaitan dengan jalur perdagangan, tetapi juga persahabatan politik dan persekutuan dengan masyarakat Minangkabau. Jejak ini dapat ditelusuri dalam tradisi lisan maupun catatan kolonial yang menyinggung pergerakan orang Padanglawas ke berbagai wilayah, termasuk pesisir Aceh.

Sejarah mencatat, Aceh bukan hanya sebuah wilayah yang berkembang dari kerajaan besar Samudera Pasai hingga Kesultanan Aceh Darussalam. Ia juga menjadi tempat berbaurnya berbagai etnis dari Sumatera bagian tengah dan utara, termasuk kelompok Mandailing dan Angkola. Di antara mereka, marga Hutabarat yang masih bagian dari rumpun marga Hasibuan turut hadir dalam dinamika sosial dan politik setempat.

Keterlibatan orang-orang marga Hutabarat di Aceh tidak lepas dari jaringan yang lebih luas. Orang-orang Minangkabau yang berpengaruh dalam pembentukan kerajaan Pulau Tuangku, misalnya, membuka pintu bagi suku-suku dari Sumatera bagian tengah untuk ikut serta. Persekutuan ini mencerminkan adanya kebutuhan akan kekuatan kolektif dalam menghadapi pengaruh luar, baik dari kerajaan Aceh maupun dari kekuatan maritim asing.

Pulau Tuangku di Aceh Singkil menjadi saksi bagaimana persekutuan lintas etnis ini terbangun. Malikul Baraya, seorang tokoh Minang, menginisiasi struktur kerajaan yang kemudian melibatkan berbagai tokoh lokal, termasuk Datuk besar setempat. Dalam proses ini, nama Hutabarat muncul sebagai salah satu datuk yang ikut menyusun dasar-dasar kekuasaan.

Posisi Hutabarat di Aceh dapat dimaknai sebagai representasi kehadiran rumpun Hasibuan di wilayah tersebut. Sebab, hubungan genealogis antara Hasibuan dan Hutabarat cukup dekat. Dengan demikian, kehadiran Hutabarat di Pulau Tuangku sekaligus menjadi penanda bahwa orang-orang Padanglawas tidak asing dalam jaringan persekutuan Aceh–Minang.

Selain melalui jalur genealogi, faktor mobilitas ekonomi juga berperan. Orang Padanglawas dan Rao dikenal memiliki jaringan dagang yang luas sejak abad pertengahan. Rute mereka tidak hanya menuju Riau dan Sumatera Barat, tetapi juga menembus ke pesisir barat dan timur Sumatera, termasuk Aceh. Jalur perdagangan ini memperkuat alasan mengapa sebagian dari mereka menetap di Aceh.

Hubungan dengan Aceh juga diperkuat oleh kesamaan agama. Islam yang masuk ke Mandailing dan Padanglawas melalui Aceh dan Minangkabau, memperkuat identitas kolektif yang memungkinkan integrasi sosial lebih mudah terjadi. Hal ini pula yang menjadikan marga-marga seperti Hutabarat mudah berkoalisi dengan orang Minang dalam konteks Aceh.

Catatan sejarah juga menunjukkan bahwa perpindahan orang Padanglawas ke Aceh sering terjadi secara bertahap. Ada yang datang sebagai pedagang, ada pula sebagai perantau yang mencari lahan baru. Dalam beberapa kasus, mereka menikah dengan penduduk lokal sehingga membentuk jaringan keluarga yang makin kuat.

Keterlibatan mereka dalam politik lokal Aceh tampak pada peran sebagai penasihat maupun pendukung raja. Hal ini mirip dengan pola integrasi yang dilakukan masyarakat Minang ketika merantau. Mereka tidak sekadar menjadi pendatang, melainkan bagian dari struktur kekuasaan.

Persekutuan Hutabarat dengan Minang di Aceh memperlihatkan pola koalisi antar rumpun etnis di Sumatera. Semua ini berangkat dari kesadaran kolektif untuk memperkuat kedudukan di tengah perebutan pengaruh antara kerajaan lokal dan asing. Aceh, yang kala itu menjadi pintu masuk dunia Islam di Asia Tenggara, menjadi arena strategis bagi persekutuan semacam itu.

Orang Padanglawas memiliki jalur mobilitas yang khas. Dari hulu sungai Barumun dan Batang Pane, mereka dapat bergerak ke arah barat menuju pantai barat Sumatera hingga Singkil. Jalur inilah yang memungkinkan hubungan langsung dengan Aceh tanpa harus melalui jalur Minangkabau.

Sementara itu, jalur perdagangan timur melalui Riau dan Malaka juga membuka jalan bagi orang Padanglawas untuk merantau lebih jauh, bahkan hingga ke Semenanjung Malaysia. Namun, yang ke Aceh lebih banyak memilih jalur darat dan sungai, karena letak geografisnya yang berdekatan.

Hubungan antara rumpun marga Hasibuan seperti Hutabarat dan Minang di Aceh juga bisa dipandang sebagai cerminan peradaban maritim. Orang-orang dari pedalaman mampu menyesuaikan diri dengan masyarakat pesisir, bahkan ikut berperan dalam sistem kerajaan berbasis laut seperti Pulau Tuangku.

Seiring berjalannya waktu, persekutuan ini memperkuat ikatan budaya antara masyarakat Batak Mandailing, Minangkabau, dan Aceh. Tradisi merantau dan berdagang menjadi pengikat utama yang masih terasa hingga sekarang. Di beberapa daerah, jejak marga Hutabarat dan Hasibuan masih dapat ditemukan.

Pengaruh Padanglawas di Aceh juga terbukti dari cerita rakyat yang menyinggung tokoh-tokoh dari Mandailing. Dalam kisah-kisah itu, mereka tidak digambarkan sebagai orang asing, melainkan bagian dari komunitas yang ikut membangun tatanan sosial.

Perpindahan orang Padanglawas ke Aceh juga memperlihatkan betapa luwesnya masyarakat Nusantara membangun jaringan. Aliansi politik dengan Minang, penerimaan sosial dari Aceh, dan kekuatan genealogis melalui marga membuat mereka mampu bertahan dan berkembang.

Kisah ini juga membantah pandangan bahwa pergerakan orang Mandailing hanya terbatas ke arah Riau dan Malaysia. Faktanya, Aceh juga menjadi salah satu tujuan penting, terutama bagi mereka yang ingin memperkuat persekutuan dengan orang Minang.

Jejak sejarah Hutabarat di Pulau Tuangku membuktikan bahwa jaringan Mandailing Angkola–Minang–Aceh sudah terbentuk sejak lama. Perpaduan ini menjadi fondasi kuat dalam menjaga kestabilan kawasan di tengah persaingan kekuasaan.

Kini, kisah tersebut menjadi bagian penting dari sejarah lokal Aceh Singkil dan sekitarnya. Ia tidak hanya menunjukkan peran orang Minang, tetapi juga keterlibatan marga-marga di Sumut dalam persekutuan politik yang lebih besar.

Dengan demikian, hubungan Hasibuan melalui Hutabarat di Aceh, yang berkoalisi dengan Minang, adalah bukti nyata bagaimana orang Padanglawas mampu menyebar ke Aceh melalui jalur perdagangan, persekutuan politik, dan ikatan genealogis yang terjalin sejak berabad-abad lalu.


https://www.facebook.com/share/p/1D4H8A83ZA/

https://www.facebook.com/share/p/19icycZW2W/

https://www.facebook.com/share/p/15EYngW6Q2r/

https://www.facebook.com/share/p/1A8yo9MAPj/

https://www.facebook.com/share/p/1Eq43EB2QY/

https://museumpajumarbun.blogspot.com/2025/09/jejak-hasibuan-di-surga-wisata-tanah.html?m=1

https://atjehwatch.com/2022/07/18/mengulik-sejarah-terbentuknya-kerajaan-pulau-tuangku/

Share this:

Posting Komentar

 
Copyright © Museum Paju Marbun. Designed by OddThemes